Budidaya kepiting sangat prospektif untuk di kembangkan di seluruh wilayah Indonesia. Selama wilayah tersebut memiliki lahan tambak air payau. Wilayah Sulawesi Selatan misalnya. Yang luas lahan tambak air payaunya kurang lebih 150.000 ha.
Dengan garis pantai sepanjang 2500 km yang tepinya ditutupi hutan mangrove ini sangat potensial menjadi lahan budidaya, baik kepiting bakau maupun rajungan. Selain itu, salah satu faktor pendukung budidaya di Sulsel yakni tersedianya bibit yang cukup memadai.
Dari hasil kajian yang dilakukan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005, terungkap bahwa kabupaten Wajo, terutama di kecamatan Keera adalah salah satu daerah penghasil bibit kepiting bakau.
Bibit kepiting dari daerah ini banyak terdistribusi ke berbagai sentra produksi yang melakukan budidaya kepiting. Upaya penyediaan bibit dari hatchery pun sudah mulai digalakkan. Baik kepiting bakau maupun rajungan telah berhasil dibenihkan secara buatan, meskipun disana sini masih perlu disempurnakan untuk dapat menyamai keberhasilan pembibitan udang yang telah berlangsung lama.
Di desa Pallime, daerah yang menjadi indikator perkepitingan Sulawesi Selatan, budidaya kepiting bakau di tambak umumnya masih dilakukan secara sederhana tanpa sentuhan teknologi. Bibit kepiting ditebar di tambak atau sawah kemudian dibiarkan begitu saja tanpa atau dengan suplai pakan seadanya.
Makanan kepiting pada pembesaran sederhana ini hanyalah ikan-ikan liar yang ikut masuk ke dalam tambak atau tanaman-tanaman air yang tumbuh secara tidak sengaja atau daun-daun bakau yang terjatuh ke dalam tambak.
Akibatnya, tingkat kematian atau yang kabur dari tambak cukup besar, yakni sekitar 50%. Namun demikian, petani masih dapat meraup keuntungan yang cukup lumayan. Jadi bisa dibayangkan bila budidaya kepiting itu dilakukan dengan sistem semi atau full intensif maka bisa dipastikan pembudidaya kepiting akan semakin banyak mendapatkan rejeki.
Biasanya, setiap hektar tambak dapat ditebari 1000 ekor bibit dengan ukuran lebar karapas 4-6 cm yang dibeli dari nelayan pengumpul seharga Rp.350 – 500. Setelah 3 – 4 bulan pemeliharaan, kepiting sudah mencapai ukuran minimal 250 g (size 4, empat kepiting per kilogram).
Untuk ukuran tersebut, kepiting laku dijual di kalangan pengumpul seharga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per kg. Jadi dengan modal kurang lebih Rp 500 ribu, petani dapat meraup hasil kurang lebih Rp 6 juta.
0 Comment to "Prospek Cerah Budidaya Kepiting di Tanah Air"
Posting Komentar